Manajemen “Jam Karet”
Manajemen “Jam
Karet”
Oleh : M. Muinul
Haq
Aku menulis tentang “jam karet” ini karena terlalu sering menjadi
korbannya, juga terkadang menjadi pelakunya. Kita mungkin sepakat bahwa
pekerjaan yang paling membosankan adalah menunggu. Ya, menunggu memang melalap
habis mood kita, membuang setiap
waktu yang telah kita jadwal sedemikian rupa. Akibatnya, susunan kegiatan kita
pada hari itu, seketika buyar, amburadul oleh “jam karet” pelaksana kegiatan
yang sedang kita ikuti. Boleh jadi Indonesia yang merupakan salah satu penghasil
karet terbesar di dunia juga menjadi pengguna “jam karet “ terbesar . Ini bisa
jadi penelitian, apakah ada hubungan antara keduanya. Tak dapat dipungkiri
budaya “jam karet” masih sangat kental di Negara kita. Mulai dari kalangan
bawah, menengah hingga kalangan atas sekalipun masih memegang teguh kebiasaan
buruk ini. Memang masih menjadi kelangkaan di Indonesia, orang yang konsisten
terhadap waktu, masih begitu minim orang yang pandai mengatur waktu. Orang yang
menghargai waktu masih sulit untuk didapat.
Jalan keluar bagi kebiasaan
buruk ini tentu adalah kesadaran pribadi. Setiap pribadi mesti sadar akan
buruknya kebiasaan ngaret ini, dan berusaha untuk menjauhkan dirinya dari hal
ini. Namun jika hanya menunggu hal ini disadari oleh semua orang tentu hanya
seperti berkhayal buah yang lezat dari sebuah pohon, namun enggan merawat dan
memberinya pupuk . Oleh karena itu, dalam tulisan ini saya akan mengenalkan
satu solusi akan hal ini. Meminimalisir “jam karet” dengan kebijakan ‘Iqob . Sebagian dari Anda mungkin sudah
mengetahui hal ini. ‘Iqob adalah
kebijakan pendendaan kepada seseorang yang melanggar suatu aturan yang telah
ditetapkan. Jadi setiap orang yang terlambat alias masih menggunakan jam karet
di tangannya, dia akan membayar ‘Iqob atau
denda sesuai dengan kesepakatan yang berlaku. Jika kegiatannya berupa seminar,
workshop, bedah buku dan semacamnya, jika kegiatan tersebut molor alias ngaret maka panitia wajib membayar ‘Iqob atau denda kepada peserta yang
telah meluangkan waktunya untuk hadir. Memang diawal terkesan memaksa,
materialism, atau semacamnya, namun ini bisa sedikit mengajari kita untuk
menghargai waktu. Di organisasi saya, KAMMI Komisariat Politeknik Negeri Ujung
Pandang, berlaku ‘Iqob bagi kader yang terlambat hadir dalam syuro atau rapat pekanan, maupun
berhalangan hadir kecuali dengan uzur yang syar’I dan itu wajib untuk
dikonfirmasi kepada PJ atau penanggung jawab syuro . Apa ‘Iqob yang
telah kami sepakati ? . Yakni berupa sanksi keterlambatan lima ratus rupiah
setiap lima menit keterlambatan dan hafalan surah tiga ayat. Pundi-pundi rupiah
akan masuk ke KAS organisasi dan hafalan surah harus disetor ke murobbi masing-masing. Bagi yang tidak
hadir dalam syuro tanpa member kabar
kepada PJ wajib membayar ‘Iqob sebesar
dua ribu upiah dan hafalan surah sebanyak lima ayat.
Memang diawal diterapkannya
menemui banyak hambatan, juga perselisihan, namun ini mengajarkan kita untuk
peka terhadap pentingnya waktu. Allah telah menekankan ini dalam firman-Nya “
Demi Waktu”. Bahwa banyak manusia yang akan rugi terhadap waktu yang telah
disediakan untuknya. Kita juga sering mendengar tentang sahabat yang ketika
dilalaikan waktunya oleh pekerjaannya, entah itu kebunnya, ladangnya untuk
menjawab seruan Allah untuk shalat, ia menyerahkan seluruh hasil kebunnya
maupun ladangnya untuk islam. Karena mereka berpikir ini sebuah ‘Iqob karena ngaret dalam menjawab seruan-Nya. Nah,
kalau kita bagaimana ?, jangankan panggilan Allah, panggilan syuro, rapat,
seminar, bedah buku saja yang waktunya telah disepakati jauh-jauh hari kita
masih sering terlambat, kita masih setia menggunakan “jam karet” . Semoga
kebijakan ‘Iqob ini bisa kita
terapkan bersama, atau mungkin kita bisa modifikasi namun tetap pada satu
tujuan pasti yakni agar kita semua bisa menghargai waktu. Seiring berjalannya
waktu, kita akan terbiasa dengan ketepatan waktu karena ‘Iqob ini. Dan lama kelamaan
kesadaran itu akan tumbuh, kita tidak lagi ngaret bukan karena menyayangkan
uang kita lepas atau kelelahan menghafal ayat, namun karena kesadaran bahwa
waktu memang harus dimanfaatkan dengan baik.
0 komentar: